Posts

Rahwana, rahwana.

Dilewatinya jenggala bermalam bertapa beratus hari lamanya untuk rasa bergejolak, membara, berapi-api Rahwana sebut itu asmara Dikerahkannya utusan-utusan didasari cinta menggelora untuk Sinta Disajikannya singgasana terbaik buatannya Dijanjikannya kendi sampai kain sutra untuk membahagiakan pujaan hatinya Lantas mahluk muka bumi hanya mengenal cinta picisan Rama, yang tidak ada apa-apanya?

Meragulah orang-orang patah hati

  Gelap ini semesta sedang menopang dagu karena kebingungan Melihat seorang berpikir keras bagaimana caranya untuk menyampaikan Padahal sepertinya, yang dipikir pun teramat lupa dengan pengakuan Yah, manusia ini lambat laun menatap muram.  Suasana hatinya jadi kelam. Sepertinya manusia ini karam, karena ditinggalkannya di tengah malam. Karam, ia karam.

Alkisah, seorang pengkhianat

  Ketika Tuhan sedang berbahagia, dibuatnya tangisan mahluk kecil ramai di selasar dengan malaikat turut menyambut dengan sukacita Kemudian, Tuhan sedang berbahagia lagi, dibuatnya lah energi di ujung kakinya agar mudah menapakkan diri di tanah basah pagi-pagi Lalu, Tuhan terus berbahagia, dibuatnya sel-sel otak yang bertumbuh agar ia mampu merajut kedamaian semesta Sayang, setelah dewasa ia terlena. Malah dibuatnya daun-daun menjauh hingga tak dapat merasakan air yang susah payah dicari akar Malah dibuatnya anak sungai sulit bertemu induk laut hingga tak dapat mengantar langit jingga menuju singgasananya Malah dibuatnya pandangan manusia akan indahnya dunia hanya sejengkal di pelupuk,  bahkan tak sampai, hanya angan. Ia adalah manusia.  —cikal bakal pengkhianat.

Tamu tak dikenal

  Diketuknya pintuku oleh seorang tamu tak dikenal Belum sempat aku menyiapkan sambutan terbaik, lantas didobraknya dengan tergesa-gesa Berdiri 'dia' memandang diri yang tidak bergeming di sudut lara Melihat dengan nanar, sepertinya 'dia' adalah seseorang yang tega Dibuatnya aku cepat-cepat Untungnya, dia tetap tahu adat Ditelusurinya terlebih dulu, dari ujung kakiku dalam rangka menghormati tuan rumah Merambah rasa kaku sampai ke ruas tulang rusukku—hingga ku dengar ada bisikkan Di tengah sunyi, senyap, menjalar ke daun telinga Mengusap berbisik seakan waktu menjadi kaku dibuatnya Tiba-tiba gelap! Ingin ku terka siapa tamuku, sayang waktu telah berseru Habis. Habis. Habis. Ternyata dia tamuku bernama ajal.

Sore di bulan Juli.

3 Juli 2018, pukul 3 sore. --- Waktu itu, pengumuman SBMPTN tahun 2018 dimajukan dua jam dari yang dijadwalkan. Saya yang saat itu sedang berusaha bermeditasi (sebenarnya hanya tidak melirik gawai sedikitpun), mendapat telepon dari salah satu teman. Benar, dia memberi kabar bahwa pengumuman SBMPTN dimajukan dari yang seharusnya jam 5 sore menjadi jam 3 sore. Saat itu, waktu sudah menunjukan pukul setengah 2 siang. Kalau saya boleh berlebihan, mungkin saya bisa mendeskripsikan bagaimana susahnya bernafas saat itu. Saya terdiam, duduk di pojokan kamar saya. Mencoba berperang dengan diri sendiri, antara berpikir positif dan memposisikan hati agar terima dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Waktu hampir menunjukkan kurang dari 15 menit. Saya (kembali) duduk di pojokan. Ingatan saya terlempar ke masa-masa di mana saya menjadi budak bimbel, mengikuti kegiatan Try Out dan menunggu hasil ranking nasional, mengerjakan soal-soal sampai saya tidak tahu jumlahnya sebanyak apa, berusa

Orang-orang penting.

Saya pernah tinggal di kota orang. Merasakan bagaimana nikmatnya punya waktu sendiri, memulai sesuatu yang baru sendiri, mengurus diri sendiri. Tapi, sebenarnya, saya tidak sendiri. Ada orang-orang penting, yang mengisi hari-hari waktu itu. Masa remaja saya dimulai dengan tinggal bersama induk semang. Memasuki zona di mana saya bersemangat dalam mengeksplorasi diri, saya diharuskan tinggal berjauhan dengan orang tua. Semua sangat rumit di awal, sampai dulu saya sempat berpikir bahwa keputusan ini sangat terkutuk dan membebani hidup. Untuk sekadar cari makan pun (waktu itu teknologi bernama gofood belum ditemukan), saya harus berpikir keras, karena biasanya semua sudah tersedia di meja makan. Untuk urusan pakaian, saya harus pintar-pintar cari waktu agar seragam kering pada waktunya. Semua terasa begitu berat, membagi waktu antara mengurus urusan sekolah dan pribadi.  Benar, dahulu sebegitu lemahnya mental saya. Sering saya rasakan yang namanya homesick. Keti

Kembali lagi.

Kemarin, saya kembali. Kembali ke tempat di mana saya merasakan masa kecil. Kota kelahiran saya, yang membuat saya tidak lupa bahwa ada darah sunda mengalir dalam tubuh. Kota Bogor, di Jawa Barat. Cukup dingin, sering hujan—bahkan hampir setiap hari. Banyak perubahan setelah saya pergi selama lima tahun tentunya. Mal, hotel, kafe, tersebar di setiap sudut kota. Hanya satu yang tidak pernah berubah, kemacetannya. Saya menyusuri jalan dengan langit mendungnya saat itu. Pertanda bahwa kota ini akan membuktikan bahwa julukan yang melekat padanya adalah benar. Akhirnya, hujan turun seperti dugaan, lumayan deras. Saya memerhatikan semua orang sudah siap dengan jas hujan. Ojek payung dimana-mana. Banyak barisan orang menunggu di depan pusat perbelanjaan, halte, ada juga yang berlari-lari menuju kendaraan masing-masing. Semua berlindung, menunggu reda. Apa yang saya lihat, semuanya seakan melempar saya pada masa itu. Di mana saya yang dulu selalu membawa jas hujan merah mud